Mencari Jejak China di Tanah Betawi
April 10, 2017
Langit urung
menumpahkan air ke bumi pagi itu. Tak ada mendung menggelayut seperti hari-hari
sebelumnya. Padahal pada Tahun Baru China atau Imlek, hujan kerap diumpamakan
sebagai rezeki turun langit.
Namun hal
tersebut tak menyurutkan euforia masyarakat menyambut Imlek yang jatuh pada
tanggal 8 Februari 2016. Satu pekan sebelum Imlek, hiasan lampion merah dan
atraksi barongsai dengan mudah ditemui di berbagai pusat perbelanjaan di
Indonesia, termasuk di ibu kota.
Kondisi ini
tentu sangat berbeda ketika kepemimpinan Presiden ke-2 Soeharto. Saat itu,
etnis China di Indonesia dilarang merayakan Imlek. Baru di masa Presiden RI
ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lah, etnis China di Indonesia bisa bernapas
lega.
Gus Dur
mengizinkan perayaan Imlek dan sekaligus menetapkannya sebagai hari libur
nasional. Meski baru bisa mencicipi manisnya perayaan Imlek pada awal tahun
2000-an, etnis China sesungguhnya sudah ada di Indonesia sejak beratus-ratus
tahun yang lalu.
Jika ditelusuri,
bangsa China masuk ke Indonesia sejak abad ke-17. Ketika itu, Kongsi Dagang
atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC)
mengajak bangsa China dari daratan bermigrasi ke Indonesia, baik untuk bekerja
atau berdagang.
Di Jakarta atau
pada saat itu lebih dikenal sebagai Batavia, etnis China tinggal dan berdagang
di sepanjang daerah Pintu Besar dan di sekitar sungai Ciliwung. Kini, sejumlah
peninggalan mereka masih bisa ditemui dalam wujud bangunan tua.
Bangunan-bangunan
ini masih berdiri kokoh di antara gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Salah
satunya adalah gedung Candra Naya.
Tak ada yang
mengira di balik bangunan megah Hotel Novotel, terselip bangunan tua yang
kental dengan budaya China. Di jalan Gajah Mada Nomor 188, Jakarta Pusat,
gedung bernama Candra Naya tersebut seakan tidak ingin tenggelam oleh pesatnya
pembangunan gedung bertingkat.
“Gedung Candra
Naya ini termasuk ke dalam Modernland dan terakhir masuk sekitar tiga tahun
lalu. Tapi khusus gedung ini kita di bawah pengawasan dari Pemprov DKI karena
gedung ini termasuk cagar budaya,” ujar Commercial Area Dept Head PT Modernland
Realty Tbk, Vivi Chai, kepada VIVA.co.id.
Begitu banyak
catatan sejarah menyertai gedung yang dibangun pada awal abad ke-18 atau ke-19
ini. Namun yang pasti, Candra Naya pernah dimiliki seorang pedagang kaya China,
Khouw Tian Sek.
Dilansir dari
laman Jakarta Tourism, bangunan tersebut juga pernah digunakan sebagai kantor
pusat sebuah organisasi bernama Sing Ming Hui pada saat akhir Perang Dunia ke-2.
Organisasi ini diketahui lebih banyak terlibat dalam kegiatan sosial, seperti
melayani dan menyediakan informasi bagi komunitas China yang menderita karena
perang.
Organisasi Sing
Ming Hui kemudian berganti nama pada tahun 1962. Namanya berubah menjadi
Tjandra Naja yang kemudian akhirnya menjadi Candra Naya.
Saat ini gedung
Candra Naya terbagi menjadi tiga bagian. Bagian kiri dan kanan disewakan untuk
restoran. Ada yang menjadi kedai kopi, ada pula yang menjadi kafe.
Berbeda dengan
bagian kiri dan kanan, gedung di bagian tengah tidak diperkenankan untuk
komersial. “Hanya boleh untuk pameran saja,” kata Vivi.
Menelusuri
bagian tengah gedung, mata akan disuguhkan dengan dua foto di sisi kiri dan
kanan dinding. Mereka adalah foto mayor yang sempat tinggal di sana. Masuk ke
ruang tengah, terdapat ornamen-ornamen Tionghoa, seperti lampion dan miniatur
barongsai. Di sisi kiri, ada ruangan yang memajang berbagai frame tokoh-tokoh
Tiongkok.
Suara gemericik
air dari kolam ikan yang cukup besar terdengar saat kaki melangkah keluar
ruang. Hawa sejuk langsung terasa. Kolam itu dikelilingi patung ikan yang
sedang menggigit koin.
Bangunan Candra
Naya
Keindahan gedung
yang menjadi saksi bisu perjalanan etnis Tionghoa di Jakarta ini rupanya
menarik perhatian masyarakat. Dhea salah satunya. Bersama dengan ibu dan sang
anak, wanita keturunan Tionghoa ini menyambangi gedung Candra Naya untuk
memenuhi rasa penasarannya.
"Saya lagi
jalan-jalan sekitar sini. Lihat gedung ini bareng ibu dan anak saya. Belajar
sejarah juga tentang peninggalan China. Kebetulan saya juga keturunan. Bagus
banget gedungnya,” ucapnya.
Berburu aksesori
monyet api
Dari gedung
Candra Naya, perjalanan dilanjutkan ke Petak Sembilan. Kawasan yang berada di
sepanjang Jalan Kemenangan III 13 Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat ini, sangat
populer sebagai pecinan, tempat perdagangan, dan ibadah.
Setidaknya
terdapat tiga kelenteng di tempat tersebut. Tak heran ketika menginjakkan kaki
di kawasan ini, aroma dupa langsung merasuk ke dalam hidung.
Ada kelenteng Toa
Se Bio atau Wihara Dharma Jaya Toasebio dan Wihara Dharma Bhakti yang sudah
berusia ratusan tahun. Sedikit bercerita soal Wihara Dharma Bhakti. Wihara
terbesar di Jakarta ini memiliki luas sekitar 1.200 meter persegi.
Bangunan
kelenteng mengalami beberapa kali perbaikan sejak tahun 1970-an. Setiap
harinya, wihara dengan nama lain Kim Tek Ji tersebut didatangi ratusan
pengunjung yang ingin bersembahyang.
Wihara ini juga
tak luput dari musibah bencana alam dan kebakaran. Pada tahun lalu misalnya,
wihara tersebut sempat tergenang banjir hingga semata kaki orang dewasa. Nahas,
sebulan kemudian, tepatnya pada 2 Maret 2015, kebakaran melanda Wihara Dharma
Bhakti.
Petak Sembilan
Setelah
peristiwa kebakaran, rencananya Wihara Dharma Bhakti akan dibangun kembali
dengan desain yang sama. Pembangunan ini diperkirakan memakan waktu dua tahun.
Sementara itu
sebagai tempat perdagangan, di Petak Sembilan juga berdiri deretan kios-kios
yang menjajakan berbagai aksesori khas Tiongkok. Ada lampion, garland, amplop
angpau, kaus hingga gantungan kunci bergambar monyet api yang merupakan lambang
shio pada tahun ini.
Jelang Imlek,
terdapat pula pedagang yang menjajakan teripang. Makanan laut yang juga disebut
haisom tersebut biasanya diolah menjadi berbagai menu khas Imlek.
Populer sebagai
latar pre-wedding
Setelah puas
membeli berbagai aksesori khas Imlek, langkahkan kaki ke Kota Tua. Di sana
terdapat satu bangunan yang sangat mencolok dengan warna merah menyala.
Dinamakan Toko
Merah, bangunan ini terletak di Jalan Kali Besar Barat 17, Glodok, Jakarta
Barat. Tepatnya, di sisi sungai Ciliwung, bagian dari Roa Malaka. Bila dari
kawasan Kota Tua, Anda bisa menempuh dengan berjalan kaki dari sisi jalan
sebelah Cafe Batavia, menelusuri pinggir Sungai Ciliwung.
Toko Merah
dibangun dengan arsitektur baroque abad ke-18. Mengintip di balik jendela,
ornamen-ornamen yang terdapat di bangunan merupakan campuran dekorasi klasik
Eropa dan China.
Hal ini tidak
mengherankan. Sebab, bangunan tersebut memiliki sejarah yang cukup panjang dan
kerap beralih fungsi. Merunut dari sejarah, di masa lalu, Toko Merah merupakan
kediaman Willem Baron van Imhoff, yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC
periode 1743-1750.
Sejarah juga
mencatat, pada 1743-1755, gedung pernah menjadi tempat akademi maritim pertama.
Setelah itu, pada 1787-1808 pernah juga digunakan menjadi tempat tinggal
sementara pejabat tinggi pemerintahan.
Kemudian pada
1851, bangunan ini dibeli oleh pedagang China yang mengecat semua tembok batu
batanya dengan warna merah. Sejak saat
itu bangunan ini dikenal sebagai Toko Merah. Dominasi warna merah tampak baik
di luar maupun di dalam ruangan.
Toko Merah
Berdasarkan
keterangan yang didapat dari papan informasi, Toko Merah merupakan bangunan
kembar, dengan dua rumah yang berada di bawah satu atap. Perpaduan gaya klasik
Eropa dan China terlihat dari lantai yang terbuat dari batu di bagian bawah,
dan kayu pada bagian atasnya.
Toko Merah
menerima sertifikat Sadar Pemugaran pada 1993. Sayangnya, sejak Juli 2015, Toko
Merah ditutup untuk umum. Pengunjung hanya bisa menikmati keindahan bagian
depan, atau sesekali mengintip melalui jendela.
Meski demikian,
Anda bisa memanfaatkan keindahan bata-bata yang dicat merah ini untuk foto
pre-wedding dengan tarif Rp150 ribu untuk 15 menit.
Santap kuliner
otentik
Lelah
berjalan-jalan, waktunya mengisi perut. Perjalanan terakhir kali ini bermuara
di Pecenongan, Jakarta Pusat. Papan dengan tulisan ‘Selamat datang di Wisata
Kuliner Pecenongan’ siap menyambut pengunjung saat tiba di tempat tersebut.
Pecenongan
Walau saat ini
siapapun juga dapat menemukan berbagai restoran China di berbagai sudut kota
Jakarta, tetapi untuk mencoba makanan China otentik dengan suasana pecinan,
kunjungan ke restoran kaki lima Pecenongan merupakan keharusan.
Sejak 1970-an,
daerah Pecenongan dikenal sebagai pusat kuliner malam. Bermula dari sederetan
pedagang kecil yang terus berkembang membentuk komunitas kuliner.
Kelezatan cita
rasa dari kuliner Pecenongan ini semakin terkenal ke seantero Jakarta. Saat
ini, banyak kuliner populer bisa ditemui di tempat tersebut, seperti bubur,
martabak, dan roti bakar.
Meski demikian,
di masa lalu, Pecenongan bukanlah surga kuliner, melainkan tempat agen sepeda
dan pertokoan. Sebut saja Rijwielhandel Gebr, Jense dan MF Stolk Rijwielhandel
Columbia en Het Fongers Huis.
Di kawasan ini
dahulu juga terdapat toko buku dan penerbit Kolff & Co. Kolff & Co,
merupakan toko buku serta percetakan pertama di Batavia yang berdiri pada 1848.
Pendirinya adalah seorang Belanda bernama Johannes Cornelis Kolff.
0 komentar