Pencapaian
June 03, 2016
Sore
itu, saya duduk di stasiun. Tanpa tujuan. Mengamati orang lalu-lalang,
sambil menyumbat telinga dengan lagu lewat earphone kumal kesayangan.
Ah, Jakarta...
Sering
kali saya menganalogikan Jakarta seperti perempuan cantik yang
diperkosa. Keindahan dan kecantikannya bisa dinikmati oleh semua orang.
Dia segala punya, segala bisa, segala ada.
Tapi kadang
dianalogikan seperti satu loyang kue blackforest. Terlalu manis,
cenderung enek. Hanya bisa dinikmati sepotong, tidak bisa penuh.
Lalu memori saya kembali pada masa pertama datang ke Hutan Beton ini.
Tepatnya 2 tahun 6 bulan yang lalu.
Seperti
pendatang pada umumnya, saya datang ke sini bermodalkan panggilan
kerja. Membawa satu map berisi ijazah, transkrip nilai dan tetek
bengeknya.
Asing dan bising. Kesan pertama saya pada salah satu kota terpadat di dunia ini.
Tidak lama kemudian, saya resmi menjadi pekerja pendatang baru di Jakarta.
Jenis
pekerjaannya? Bukan yang saya impikan. Menuntut mobilitas tinggi,
mengejar orang yang harus ditanya, setiap hari, berbeda-beda, lalu
dituangkan dalam tulisan.
Sendirian. Kemana pun. Lelah? Jangan ditanya.
Setiap
hari tidak terhitung keluhan yang keluar dari mulut saya. Tidak tahu
rute jalan menjadi kendala terbesar. Jakarta yang sebesar ini, harus
saya telusuri, saya cari di internet, dengan kendaraan umum.
Dia
hanya bisa mendengarkan ocehan saya lewat telepon di ujung sana. Kami
berada di kota yang sama, tapi pekerjaan menuntut pertemuan yang tidak
bisa segera.
Meluangkan
waktu satu jam untuk makan malam bersama menjadi momen paling mahal.
Padahal, hanya beli roti bakar atau nasi goreng pinggir jalan.
Bukan tanpa alasan, ini karena bertukar cerita adalah kebutuhan bagi kami.
Lalu
agar selalu bersemangat, kami buat kesepakatan harus makan enak tiap
bulan. Dipilihlah sebuah warung seafood pinggir jalan di Selatan
Jakarta.
Dasarnya
tukang makan, sekalinya ada waktu luang kami memilih untuk mencari tempat makan di Jakarta. Utara
ke Selatan, Barat ke Timur ditempuh. Banyak tempat yang kami datangi, banyak
jalan juga yang membuat kami tersesat. Menyenangkan.
Satu
tahun menjalani hidup di Jakarta rasanya sangat berat, tapi dia selalu
menguatkan. Lewat tawa yang menyebalkan dan obrolan khas yang hanya kami
mengerti.
Sampai pada akhirnya kami harus berjalan masing-masing, tanpa mendampingi satu sama lain.
Bukan berat lagi. Ini sangat berat. Sungguh.
Saya mengawali hidup di sini bersama dia. Lalu sekarang saya harus tanpa dia?
Tiga bulan pertama rasa muak dan kesal mendominasi. Kembali ke Bandung adalah keinginan terbesar saya waktu itu.
Kemudian
pada satu titik, saya mulai mencari potongan manis dari kue yang enek
ini. Apa yang saya dapat dan apa yang saya cita-citakan.
Menikmati
Jakarta lewat duduk di halte bis, stasiun kereta,
moda transportasi yang menyenangkan, bertemu teman baru, tertawa bersama
dan berlibur.
Melakukan apapun yang saya suka. Yang saya mau.
Sampailah saya di hari ini.
Tepat setahun saya bisa bertahan dan berjuang di kota yang penuh sesak. Seorang diri. Tanpa dia yang menemani di awal.
Mungkin terkesan berlebihan, tapi buat saya, ini adalah pencapaian. Ternyata saya bisa. Saya mampu. Saya berani.
Sering membenci Jakarta tapi tidak lupa bersyukur sudah ditempa dan diberi kekuatan sampai sejauh ini.
Sampai kapan bertahan dan berjuang di sini?
Entahlah, saya hanya bisa berusaha sampai batas kemampuan. Push to the limit.
Dan untuk ke sekian kalinya, saya bilang ini.
Jakarta, terima kasih. Saya tahu kamu baik :)
Jakarta, 2 Juni 2016
Hasil percakapan dengan diri sendiri sebelum tidur
0 komentar