Tentang Ingat
April 27, 2016
Memori/me·mo·ri/
/mémori/ n 1 kesadaran akan pengalaman masa lampau yg hidup kembali;
ingatan; 2 catatan yg berisi penjelasan; 3 peringatan; keterangan
Menyenangkan,
satu kata yang saya gambarkan sebagai pecinta memori, walau selalu
diikuti dengan sesak. Tapi selalu menjadi candu bagi saya. Terus digali,
mengulang peristiwa yang sudah lewat. Hari ini, kemarin, minggu lalu,
sebulan ke belakang bahkan sampai hitungan tahun.
Semua
peristiwa itu terekam di dalam otak saya, ingatan saya. Walaupun
memang, saya tipikal 'ingatan ikan'. Istilahnya, sekian detik kemudian
lupa. Tapi ada, bahkan banyak hal yang berkesan dan tidak dan itu semua
menguasai kepala.
Bukan
berarti semua hal yang saya dengar, kejadian yang saya lihat dan alami,
menyenangkan dan baik-baik. Seperti saya ingat bagaimana rasanya jatuh
dari sepeda waktu kelas 4 SD, berangkat sekolah naik ojek dan mencium
tangan bapak ojek-nya, atau saat saya pertama kali sadar kalau alergi
buah rambutan.
Secara
ilmiah, memori dibagi menjadi dua bagian, jangka panjang dan pendek.
Sebelum informasi masuk ke dalam ingatan panjang, terlebih dahulu
melalui tahap memori sensoris. Tugasnya, memilih informasi sesuai dengan
fungsi masing-masing panca indera. Kemudian diteruskan ke ingatan
jangka pendek.
Setelah
informasi masuk ke dalam ingatan jangka pendek, mereka diseleksi mana
yang dianggap penting dan tidak. Lalu diteruskan ke ingatan jangka
panjang.
Tujuan
sebuah informasi dimasukkan ke dalam memori jangka panjang adalah agar
saya, kamu, kita ingat selamanya. Hebatnya, ingatan yang telah tersimpan
dalam ingatan jangka panjang bisa munculkan kembali saat
menginginkannya.
Iya, ingatan jangka panjang muncul kembali ketika saya, kamu, kita, menginginkannya.
Misal,
saya alergi rambutan, sebelum saya mengingat itu, terlebih dahulu
informasi diolah di sensoris, bahwa indera pengecapan dan perasa saya
tidak bisa menerima buah yang masih 'bersaudara' dengan leci ini.
Setelah itu tersimpan di dalam memori jangka panjang.
Ingatan
tentang alergi itu akan kembali, kalau saya menginginkannya untuk
'keluar', ketika mendapat pertanyaan "Apakah Anda memiliki alergi?" saat
bertemu dokter. Atau, ketika buah itu sedang berada di musimnya pada
bulan Desember - Januari.
Tapi
tidak selalu memori keluar karena momentum. Dia bisa mengetuk jendela
lewat lamunan saat buang air, menyikat gigi, perjalanan pulang, bangun
tidur, atau malam sebelumnya. Tentu itu semua terjadi ketika saya, kamu,
kita, menginginkannya.
Seperti
tadi malam, saya tertiba teringat satu hal yang membuat otak saya
didominasi kata 'kalau'. Terus dicolek, digali, semakin dalam. Rasa
rindu langsung menelisik, menguasai seakan tidak memberi ruang untuk
menarik nafas.
Tatapan penuh heran ketika saya memeluk kaktus. Air wajah canggung, saat saya memujinya yang memakai polo shirt hitam. Dengkur yang terdengar di ujung telepon, padahal baru sekian menit bertukar cerita.
Suara
menyebalkan saat mengucapkan kalimat-kalimat kaku yang hanya saya dan
dia mengerti. Rayuan-rayuan ketika dia ingin belanja. Permainan logika
yang selalu membuat saya terlihat bodoh.
Kemudian saya menyadari satu hal, bahwa rindu tidak melulu soal kembali.
Terkadang
menyenangkan, menjadi pribadi yang tidak ada rasa harap berlebih. Saya
hanya bersiap dengan pribadi yang seperti ini, menanti siapa yang
datang.
"Jangan menutup banyak kemungkinan untuk satu kemungkinan," Dody Wiraseto, 31 Tahun, Teman Perjalanan.
Jakarta, 27 April 2016
Ketika kantuk menyerang di kantor
0 komentar