Nirwana

June 22, 2015

Bandung, 22 Juni 2015

Sore itu saya tengah disibukan dengan kegiatan setiap pulang ke rumah, beres-beres dan menyiapkan makan malam. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk. Setelah menyimpan mangkuk dan beberapa masakan, saya membuka pintu. Tidak ada perasaan apapun. Sangat biasa.

Ternyata yang datang adalah dia, orang yang sudah lama tidak menghubungi saya. Rona wajahnya tenang, terselip senyuman hangat dari bibirnya. Janggut yang terakhir kali saya lihat tampak lebat, kini berubah tipis rapi. Rambutnya dibiarkan ikal begitu saja, tidak berantakan tapi tidak rapi. Cukup. Sesuai dengan kesukaan saya biasanya.

"Hai," kata pertama yang dia ucapkan.

Bila rona wajah dia tenang, sangat berbeda dengan saya. Tegang, gugup, bingung dan mungkin tampak bodoh.

"Eh, hai," jawab saya canggung. Setelah diam sepersekian detik, saya persilahkan dia masuk.

Tidak lama setelah dia masuk dan duduk, Ibu melihat siapa yang datang. Karena sudah lama sekali tidak bertemu, Ibu terlihat antusias. Obrolan diantara keduanya pun mengalir. Selama ini, Ibu tidak tahu bila saya dan dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan karena sesuatu hal. Atau mungkin tahu, tapi lebih memilih diam dan tidak bertanya.

Setelah ngobrol panjang lebar dengan ibu, giliran saya yang mengintrogasi. Tapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut saya. Hanya bisa diam, senyum tipis dan sedikit menunduk saat duduk di sebelahnya. Akhirnya dia yang membuka pembicaraan. Beberapa menit, saya lebih pasif. Iya - enggak kok - ya gitu aja. Hanya kata itu.

Sampai pada akhirnya, saya memberanikan diri untuk bertanya.

Dengan penuh emosi saya keluarkan kekesalan dan pertanyaan yang selama ini masih menjadi tanda tanya besar. Saya menarik nafas panjang, kemudian dia menggenggam tangan saya cukup erat. Tatapannya tenang, bukan amarah yang biasa saya lihat ketika membahas ini. Secara jelas ia menceritakan semuanya. Bagaimana ia sudah menyelesaikan masalah yang selama ini sangat abadi di antara saya dan dia.

Kemudian saya ingat kalimat dia dulu,

"Nanti kalau sudah selesai dan aku datang lagi, kamu boleh nanya semuanya dan aku bisa jawab," kata dia waktu itu. Memang bukan janji, tapi saya ingat. Dan ia tepati.



Tidak lama, seseorang menepuk bahu saya. Tiba-tiba saya berada di atas kasur sambil memeluk erat boneka tidur. Iya, ternyata saya bermimpi. Mimpi yang sangat indah dan mungkin terlalu berandai-andai.

dan sesak itu kembali datang.

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Popular Posts

Part of