Bukan Jurnalis

October 19, 2017

"Aku enggak mau jadi reporter online. Kemana-mana sendiri, target berita sehari banyak, hidupnya deadline mulu. Pengen jadi wartawan TV aja, naik mobil, liputannya berdua jadi ada temen," Ica di masa kuliah, 5 tahun lalu.

Saking enggak maunya, selesai wisuda enggak pernah apply ke media online. Semuanya TV atau majalah. Beberapa perusahaan 'serius' dengan jam kerja saklek semacam bank, karena enggak punya pilihan lain.

Dari semua lamaran kerja ke TV yang disebar, enggak ada yang lolos. Kepanggil interview, tapi mentok di psikotes. Di situ merasa.... Bego amat ya jadi orang?

Sampai pada suatu hari dapat panggilan di media online yang punya TV juga, kantornya di Pulo Gadung.

Awalnya ragu.

"Emang kapan pernah ngelamar ke sana?" Batin saya waktu itu.

 Kemudian dijelaskan oleh pihak HRD kalau  TV dan portalnya dalam satu kesatuan. Jadi istilahnya, tergantung amal ibadah dan hoki dipanggil yang mana.

"Nanti kamu nulis seputar gaya hidup, kamu bisa lihat-lihat dulu website-nya," gitu kata Mbak HRD.

Pas baca-baca, saya membatin, ah, liputannya enggak serius gini. Kayaknya asyik.

Berhubung sudah terlalu lama menganggur, saya mencoba peruntungan di sana.  Prosesnya sangat cepat. Seperti rangkaian rekrutmen pada umumnya, psikotes, wawancara HRD, user, lalu tanda tangan kontrak di sore hari.

Dengan begitu, resmilah saya menjadi reporter online. Sesuatu  yang paling saya hindari sejak kuliah.

Sebagai anak rantau ingusan, tantangan yang paling sulit adalah mengenal jalanan ibukota. Reporter online diharuskan untuk ke tempat liputan sendiri. Otomatis saya harus paham jalanan Jakarta dengan transportasi yang ada. Nyasar bukan lagi hal aneh, ditambah belum ada ojek online bikin susah kemana-mana.

Tapi gara-gara sering kelayapan begini,  saya sering dibilang kenek sama beberapa teman kampus yang sama-sama kerja di sini. Banyak dari mereka yang nanya trayek Kopaja, Metro Mini, Transjakarta sampai KRL.

Tantangan tidak berhenti di situ. Soal kerjaan, setoran artikel yang sering bikin engap dan menyerah di tengah jalan. Bisa enggak sih bertahan di sini? Pertanyaan berulang setiap pulang ke kosan apalagi kalau otak lagi mentok.

Setiap pertanyaan itu muncul, saya coba peruntungan lagi ke profesi yang saya idam-idamkan: reporter televisi.

Semakin saya mencoba, semakin saya seperti dihadapkan tembok besar yang susah saya tembus.

"Udah bertahan di sini dulu aja setahun, biar bagus CV-nya" gitu kata seorang teman. Lalu saya mengiyakan.

Setahun berlalu, justru hasrat jadi reporter TV semakin merosot.

"Emangnya di sana lebih enak? Belum tentu bisa kerja di kosan, goler-goler, ngetik terus kerjaan selesai," dialog saya bersama tembok kosan dimulai.

"Kayaknya gara-gara muka kurang HD nih!" umpat sama sambil ngaca. Itu nasib, enggak usah diperdebatkan lagi, ca.

Lalu saya perlahan mencoba menekuni dunia tulis menulis secara utuh, terutama penulisan media online. Dipertemukan dengan beberapa teman satu frekuensi obrolan dan diskusi, bekerja bersama.

Tiga tahun berlalu, saya masih berada di dunia tulis menulis ini.
Semakin tenggelam, tapi sangat menikmatinya.
Belajar hal baru yang membuka mata kalau dunia penulisan sangat luas.

Semakin ke sini saya semakin sadar, sepertinya memang hanya ini yang bisa saya lakukan. Hanya ini 'daya jual' yang paling bisa dipakai dari diri saya. Kenapa tidak saya tekuni dengan benar?

Meski sekarang bukan lagi sebagai jurnalis online, profesi yang saya hindari tapi justru dia yang menemukan tempat yang tepat untuk saya berkembang.

Meski sekarang masih menjadi penulis amatir.


Jakarta, 19 Oktober 2017
Sambil nunggu suami yang enggak sampe-sampe -_-

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Popular Posts

Part of